Willy Aditya: RUU KIA Tidak Akan Bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan

    Willy Aditya: RUU KIA Tidak Akan Bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan
    Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya

    JAKARTA - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menegaskan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) tidak akan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini disampaikan Willy merespon atas munculnya kekhawatiran dari beberapa pihak akan adanya hukum yang menabrak di antara kedua UU tersebut.

     

    “(RUU KIA) tidak akan bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan, nanti bisa duduk bersama untuk mendiskusikannya, ” kata Willy, baru-baru ini.  Politisi Partai NasDem itu mengakui memang ada pendapat beberapa pihak yang mengkhawatirkan terkait aturan dalam RUU KIA akan bertentangan dengan regulasi ketenagakerjaan yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

     

    Meski demikian, penyusunan UU harus melihat proyektif ke depan sehingga memperhatikan bagaimana Indonesia meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah penting. “Kita harus melihat kepentingan masyarakat banyak, bukan kelompok dan golongan. Ini bukan soal menang atau kalah, nanti akan akomodir, ” ujar Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.

     

    Sebelumnya, RUU KIA direncanakan akan dibahas di Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (30/6/2022), untuk disetujui sebagai usul inisiatif DPR. Poin-poin yang menjadi perdebatan dalam RUU KIA antara lain terkait perpanjangan masa cuti bagi ibu yang melahirkan dan cuti bagi para suami yang mendampingi istri melahirkan. Cuti melahirkan dalam draf RUU KIA diusulkan paling sedikit 6 bulan yaitu diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf a yaitu “selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Ibu yang bekerja berhak: a. mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan”.

     

    Selain itu pada draf RUU KIA juga mengatur terkait cuti bagi para suami yang mendampingi istri melahirkan seperti yang tertuang di Pasal 6 yaitu (1) Untuk menjamin pemenuhan hak Ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, suami dan/atau Keluarga wajib mendampingi. (2) Suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berhak mendapatkan hak cuti pendampingan: a. melahirkan paling lama 40 (empat puluh) hari; atau b. keguguran paling lama 7 (tujuh) hari.

     

    Willy pun menekankan bahwa Baleg DPR akan terbuka dalam pembahasan RUU KIA dengan mendengarkan masukan dari berbagai stakeholder. Terlebih, RUU ini sesuai dengan misi Presiden Joko Widodo untuk membentuk generasi emas Indonesia dan membangun SDM Indonesia yang berkualitas. “Kalau bicara SDM berkualitas maka basisnya adalah mulai dari hulu, bagaimana peran negara memberikan perhatian kepada anak-anak Indonesia dan kualitas keluarga meningkat, ” kata legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur XI tersebut.

     

    Terkait tumbuh kembang anak dan keluarga, Willy menjelaskan itu akan terkait dengan konteks usia keemasan atau golden age anak usia 0-5 tahun, proses pembangunan karakter, peran keluarga, dan bagaimana pemenuhan nutrisi bagi ibu dan anak. Sebagai contoh, Jepang selama 20 tahun memberikan yoghurt dan susu secara gratis kepada ibu dan anak sehingga mengalami peningkatan kualitas fisik anak. Sedangkan di Indonesia, lanjutnya masalah stunting dan angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Maka dari itu RUU KIA diharapkan bisa mengatasi persoalan tersebut. (hal/sf)

    willy aditya dpr ri nasdem
    Tony Rosyid

    Tony Rosyid

    Artikel Sebelumnya

    Capaja TNI AU Menuju Istana Negara, Gubernur...

    Artikel Berikutnya

    Novita Wijayanti Apresiasi Progres Pembangunan...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Pastikan Pilkada Serentak Berjalan Aman dan Lancar, Danrem 142/Tatag Bersama Forkopimda Pantau Pelaksanaan Pemungutan Suara
    Sinergi TNI-Polri: Dandim 1427 dan Kapolres Pasangkayu Pantau Langsung Kondisi Pemilu 2024
    Kodim 1418/Mamuju dan Polresta Mamuju Gelar Patroli Gabungan Jelang Pilkada Serentak 2024
    Hidayat Kampai: Nepo Baby, Privilege yang Jadi Tumpuan Kebijakan Publik?

    Ikuti Kami